Selasa, November 25, 2008

Tragedi Nasional Pengesahan UU Pornografi


Tragedi Nasional Pengesahan UU Pornografi
 

Akhirnya, pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR bersama pemerintah mengesahkan UU Pornografi. Dua hari setelah ulang tahun Sumpah Pemuda ke-80, bangsa Indonesia mendapat "kado" yang sangat destruktif seperti ini. Pengesahan UU Pornografi ini merupakan suatu langkah maju bagi pihak-pihak yang ingin menghancurkan negara Republik Indonesia.

Pengesahan tidak berlangsung bulat. Sejarah mencatat Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS) melakukan walk-out sebagai bentuk penolakan. Aksi heroik tersebut diikuti juga dua anggota Fraksi Partai Golkar (FPG), yaitu I Gde Sumajaya Linggih dan Lisnawati Karna.

Jumlah para penolak RUU Pornografi ini lebih dari 20 persen dari seluruh anggota DPR. Jika DPR dianggap sebagai representasi dari warga negara Indonesia, maka mereka ini bisa dibilang mewakili lebih dari 46 juta orang, kira-kira setara dengan jumlah penduduk negara Korea Selatan atau Spanyol. Sama sekali bukan jumlah yang boleh diabaikan begitu saja.


Para anggota DPR pendukung RUU Pornografi telah memilih untuk mengabaikan aspirasi dari sebagian rakyat Indonesia. Mereka tidak ambil pusing bahwa setidaknya ada tiga orang gubernur—Sri Sultan Hamengkubuwono X dari Yogyakarta, I Made Mangku Pastika dari Bali, dan SH Sarundajang dari Sulawesi Utara—telah menyatakan penolakan warga masing-masing terhadap RUU tersebut.

Di depan pers, mereka menyatakan bahwa persyaratan prosedur pengesahan UU telah terpenuhi. Padahal, pada tanggal 23 Oktober 2008 rapat Badan Musyawarah DPR mensyaratkan bahwa sebelum pengesahan harus dilakukan sosialisasi berupa pemanggilan kepala-kepala daerah yang menolak RUU. Dan ternyata, ketiga pemimpin provinsi di atas belum pernah dipanggil.

Menjelang pengesahan, Ketua Pansus Balkan Kaplale dan Wakil Ketua Pansus Syafriansyah (dari Fraksi PPP) mengatakan kepada pers bahwa F-PDIP telah menyetujui substansi RUU Pornografi. Padahal, kita semua tahu bahwa substansi RUU tidak pernah berhenti dipermasalahkan. Inilah salah satu bentuk kebohongan publik yang kerap dilakukan oleh para pendukung RUU.


Para pendukung RUU Pornografi memang tidak berminat mengusahakan win-win solution bagi semua pihak. Karena itu, mereka menghalalkan segala cara lewat prosedur pengesahan yang mereka sebut "demokratis" itu. Mereka mereduksi makna demokrasi menjadi suatu "menang-menangan mayoritas"—untuk tidak menyebutnya sebagai suatu "tirani mayoritas".

Padahal, demokrasi tidaklah seperti itu. Kita lihat saja bagaimana konstitusi Uni Eropa yang bersifat unanimous. Konstitusi tersebut hanya akan disahkan setelah seluruh negara anggota menyetujuinya. Atau dengan kata lain: mufakat bulat. Ini karena konstitusi tersebut sifatnya sangat sensitif. Negara-negara Uni Eropa tidak ingin mempertaruhkan keutuhan institusi tersebut hanya demi konstitusi yang dipaksakan lewat voting.

Paralel dengan konstitusi Uni Eropa, RUU Pornografi yang mendapat penolakan meluas selama bertahun-tahun juga seharusnya harus disikapi secara bijak agar tidak sampai membahayakan keutuhan negara Republik Indonesia. Mufakat tentang regulasi pornografi pasti bisa dicapai, asalkan cukup sabar mencari titik temu yang bisa mengakomodasi aspirasi semua pihak.


Salah satu karakteristik yang menarik dari pengesahan konstitusi Uni Eropa adalah tiadanya batas waktu. Meski berharap bisa disepakati secepat mungkin, Uni Eropa tidak mematok kapan mereka harus sudah memiliki konstitusi. Pokoknya, hingga muncul konsep konstitusi yang isinya disetujui oleh semua negara anggota tanpa terkecuali. Ini jauh berbeda dengan prinsip "kejar tayang" dalam pengesahan UU Pornografi.

Safinas Z. Asaari, Asisten Deputi Urusan Sosial Budaya dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, pernah menyatakan, "Ya kalau sudah terlalu lelah dan capek, segera saja disahkan." Sikap serupa juga diperlihatkan para pendukung RUU Pornografi di parlemen. Mereka ingin RUU ini disahkan sebelum DPR memasuki masa reses, selagi jumlah dukungan di DPR masih memadai dan isi RUU belum berubah lagi. Dan bagi mereka, tanggal 30 Oktober lalu merupakan suatu "kesempatan emas terakhir yang tak boleh dilewatkan".

Ini sangat ironis, karena ternyata DPR masih punya hutang banyak RUU lain. Sekadar diketahui, Prolegnas mentargetkan pengesahan 248 buah undang-undang selama masa tugas DPR tahun 2004-2009. Tapi, hingga penutupan Masa Sidang 2007-2008 tempo hari, Ketua DPR Agung Leksono mengakui bahwa DPR baru menyelesaikan 141 buah undang-undang—baru separuhnya. Ini juga berarti, RUU Pornografi ditempatkan dalam prioritas yang lebih tinggi daripada RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang secara logis jelas lebih urgen. 

Pengesahan ini juga menyisakan satu pertanyaan menggelitik: ke mana partai-partai nasionalis yang lain? Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) sampai sehari sebelum pengesahan masih dalam posisi menolak, tapi kemudian berkompromi. Tapi, sikap itu masih mending dibandingkan sikap FPG dan Fraksi Demokrat, yang sudah mendukung sejak rancangan regulasi ini masih bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.

Kita simak sekilas track record kedua partai ini. Tentang Partai Demokrat, kita bisa lihat bahwa salah satu kadernya, Balkan Kaplale, menjadi Ketua Panitia Khusus RUU. Sementara itu, kader-kader Partai Golkar justru mempelopori pembuatan berbagai perda syariat di berbagai daerah. (Note: topik "perda syariat" sangat relevan dengan UU Pornografi, karena Balkan Kaplale sendiri pernah menyebutkan bahwa "RUU APP harus segera disahkan untuk menjadi payung hukum bagi berbagai perda syariat")

Presiden Susilo yang dari Partai Demokrat ini juga menunjuk Menteri Agama Maftuh Basyuni sebagai salah satu wakil pemerintah dalam proses pengesahan UU Pornografi. Selain kontras dengan klaim bahwa regulasi ini tidak mengusung agenda keagamaan, penunjukan ini juga mudah ditafsirkan sebagai suatu pendekatan politik terhadap kekuatan-kekuatan politik Islam di DPR.

Apakah ini berarti Partai Golkar dan Partai Demokrat telah menanggalkan ideologi nasionalisnya dan berubah menjadi berideologi Islam? Sepertinya tidak. Yang lebih masuk akal adalah bahwa mereka melakukannya demi kalkulasi politik jangka pendek. Bisa jadi, mereka mendukung UU Pornografi, agar mendapat konsesi politik tertentu dari fraksi-fraksi partai Islam di DPR. Mungkin berkaitan dengan sejumlah draft RUU lain yang mereka ajukan. Mungkin juga demi posisi politik Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Dalam dunia politik, praktik semacam ini lazim disebut sebagai "politik dagang sapi". 

Hasilnya, pengesahan UU Pornografi sama sekali tidak mengurangi kontroversinya. Warga berbagai daerah—antara lain Bali, Yogyakarta, Sulawesi Utara, Papua, dan Nusa Tenggara Timur—menyatakan penolakan terhadap penerapan undang-undang ini di wilayah mereka. Kecaman juga datang dari kalangan ahli hukum dan para seniman.

Proses demokrasi yang telah melahirkan UU Pornografi ini mungkin juga akan mendapat citra buruk. Apakah semua ini merupakan suatu skenario pembusukan terhadap demokrasi? Sulit dipastikan, tapi jangan lupa bahwa di Indonesia ada pihak-pihak yang ingin melihat kegagalan demokrasi, agar bisa digantikan dengan sistem yang lain (misalnya theokrasi). 

Pengesahan UU Pornografi ini mengingatkan kepada pengesahan UU no.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ketika itu, banyak pihak menentang RUU yang merampas hak orang tua untuk memilih sendiri pendidikan agama bagi putera-puterinya tersebut. Berbulan-bulan setelah pengesahan yang terasa dipaksakan, Presiden Megawati menolak menandatangani undang-undang ini.

Salah satu bagian yang diajukan sebagai poin penting dalam RUU Sisdiknas oleh para pendukungnya adalah klausul tentang alokasi 20 persen anggaran negara untuk pendidikan. Para penentang RUU ini dituding tidak mendukung alokasi anggaran ini. Padahal, yang disoroti sebenarnya adalah muatan keagamaan yang terlalu kental di dalamnya. Sekarang, kita lihat sendiri betapa utopisnya angka 20 persen tersebut. Presiden Susilo sampai harus akal-akalan untuk memenuhinya dalam APBN.

Sedangkan dalam UU Pornografi ini, "kuda troya"-nya adalah pasal-pasal perlindungan anak. Para pendukung RUU Pornografi tidak mau dengar formula alternatif, di mana anak-anak dijauhkan dari pornografi, tanpa memberangus hak orang-orang dewasa. Dan makin konyol ketika Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Hilman Rosyad Shihab, malah membela praktik pernikahan ilegal pria paruh baya dengan seorang bocah cilik. 

Tapi bagaimanapun, ada pelajaran yang bisa dipetik dari tragedi pengesahan UU Pornografi ini. Pihak anti-pluralis yang mendukung RUU selama ini sangat terorganisir dan lebih antusias bergerak. Sementara pihak pluralis yang menentangnya cenderung lebih pasif. Sikap ini yang sudah waktunya diakhiri.

Demi melindungi prinsip Bhinneka Tunggal Ika, kaum pluralis di Indonesia harus berhenti bersikap apolitis. Jangan enggan berjuang, karena ada pihak-pihak lain yang sedang giat berjuang untuk menindas keberagaman di Indonesia. Dan perjuangan ini perlu dikoordinasi dalam bentuk, katakanlah, konsolidasi nasional.

Perjuangan belum selesai. Meski palu DPR telah diketokkan, bukan berarti UU Pornografi ini sudah final. Aksi sebagian masyarakat yang menyerukan pembangkangan umum terhadap undang-undang ini perlu diapresiasi. Sementara itu, para penentang UU di seluruh Indonesia harus saling berkomunikasi untuk mempersiapkan langkah selanjutnya secara bersama-sama, yaitu permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Selama ini, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan setidaknya tiga undang-undang (UU Ketenagalistrikan, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi), serta menghapuskan pasal-pasal subversif dalam UU KUHP. Para penentang UU Pornografi perlu mempelajari kasus-kasus ini sebagai referensi. 

We lost the battle, but we cannot lose the war.

www.asycentre.blogspot.com

Senin, November 24, 2008


ASY TOLAK RUU PORNOGRAFI

Pada saat ada sebuah 'perkecualian', maka adanya sebuah diskriminasi terhadap bangsa kita. 'Perkecualian' bisa dianggap bahwa yang menolak mempunyai 'otak kotor' atau adalah etnis-etnis porno. Apakah Sebagian bangsa kita dianggap Porno oleh DPR? Apakah sebagian budaya kita adalah 'kotor' dan menjijikan? Siapalah DPR untuk menilai budaya atau kepercayaan seseorang/etnis?


Abhiram Singh Yadav (ASY) menyatakan sikap menolak RUU Pornografi. Adapun sikap ini disebabkan keberatan kami terhadap isi dari RUU tersebut. Sebagai pemuda yang berpegang teguh pada nasionalisme dan kebangsaan, saya menganggap bahwa hadirnya RUU Pornografi ini mengganggu serta membahayakan keragamaan berbangsa. Definisi dari kata seksualitas dan ketelanjangan sendiri masih sangat sumir dan gamang.

Menurut saya, apabila motivasi utama dari munculnya RUU Pornografi ini adalah untuk memberantas kriminalitas dari pornografi, maka sesungguhnya penekanan yang harus dilakukan adalah tegasnya penegakan hukum. Sebagian besar isi dari RUU ini terlebih dahulu telah ditulis dan dibakukan ke dalam KUHP (282) kita. Undang-undang Penyiaran, Undang-undang Perlindungan anak, Undang-Undang PERS, Undang-Undang Perfilman telah jelas merinci kriteria maupun sanksi dari kejahatan pornografi. Maka dari argumentasi-argumentasi ini sesungguhnya ada redundansi terhadap munculnya RUU Pornografi.

Ttd.

Abhiram Singh Yadav

RUU Pornografi

Minggu-minggu ini, rancangan undang-undang pornografi (RUU Pornografi) kembali ramai dibicarakan berbagai kalangan. Menariknya, berbagai kalangan menyoroti berbagai pasal yang dinilai diskriminatif dan cenderung mengancam keutuhan budaya dan keanekaragaman di Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi sorotan didalam RUU Pornografi tersebut antara lain; Pasal 21 yang menyatakan Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Ini artinya masyarakat dapat berperan aktif untuk turut melakukan pencegahan bahkan penggeledahan terhadap pihak lainnya dan kemungkinan bisa melampaui wewenang kepolisian. Wah bisa-bisa semua orang melakukan swiping dan kekerasan terhadap warga lainnya dengan dalih pornografi.


Selanjutnya RUU tersebut tidak mencerminkan keanekaragaman budaya bangsa dan ekspresi seni budaya. Indonesia dikenal dengan keanekaragaman budaya antara daerah dan memiliki ciri khas tersendiri yang tidak bisa disamakan satu daerah dengan daerah lainnya. Nah, dalam RUU tersebut, keanekaragaman budaya tersebut akan terancam. Pelaksanaannya tentu akan mengancam keutuhan bangsa dan negara karena pasti akan ada kelompok tertentu yang akan memaksakan kehendak dengan dengan dalih menjalankan amanat undang-undang yang jelas-jelas mencederai kebhinekaan warga negara.
Kalau tetap dipaksakan pengesehannya pada 23 September mendatang, tentu ini menjadi kemunduran dalam proses berbangsa dan bernegara dan tentunya tidak ada lagi semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ya, keinginan tak tahu diri…

Rabu, November 12, 2008

Kertas Posisi : Catatan Singkat Atas RUU Pornografi

Kertas Posisi : Catatan Singkat Atas RUU Pornografi
A Patra M Zen
Ketua Badan Pengurus
Yayasan LBH Indonesia

Pengantar
Di banyak negara, masalah pornografi memang diatur dalam dalam undang-undang. Pendefinisian pornografi dan muatan yang diatur mesti dilakukan lewat pertimbangan yang serius agar tidak menimbulkan masalah dalam penerapannya.
Apa yang disebut dengan pornografi sangat bergantung dari pandangan individu. Definisi ini bisa berbeda antara satu budaya masyarakat dengan budaya masyarakat yang lain. Istilah ini pun dapat berbeda dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Pengaturan dalam undang-undang diperlukan terutama untuk material-material yang secara sengaja diproduksi untuk tujuan memenuhi birahi seksual (sexual arousal) konsumennya. Pengaturan juga ditujukan untuk melindungi kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak.
Dengan demikian, bisa saja pengaturan dan sanksinya dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau criminal law, antara lain seperti di Kanada (1951) yang mengatur pornografi yang melibatkan anak-anak. Di negara ini dibentuk The Committee on Sexual Offences against Children and Youth (the Badgley Committee) dan the Special Committee on Pornography and Prostitution (the Fraser Committee) untuk melakukan pengawasan.
Section 163.1 of the Criminal Code Kanada yang diterbitkan pada 1993. memuat definisi pornografi anak, yakni: "(1) visual representations of explicit sexual activity involving anyone under the age of 18 or depicted as being so; (2) other visual representations of a sexual nature of persons under the age of 18; and; (3) written material or visual depictions that advocate or counsel illegal sexual activity involving persons under that age."
Aturan yang hampir sama dapat ditemukan di Inggris, yakni Section 160 Criminal Justice Act (1988), yang mengatur pornografi anak-anak dibawah 16 tahun. Selain itu, Inggris memiliki the Obscene Publications Act (1959) yang mengatur publikasi material yang memuat pornografi.
A. Definisi yang Amat Luas
Di Indonesia, definisi pornografi dalam Pasal 1 ayat (1) RUU Pornografi sebagai berikut:
"Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat."
Definisi di atas sangat luas dan sulit untuk diterapkan, apalagi ditambah dengan anak kalimat nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat, karena seperti dikemukakan di bagian awal, nilai-nilai budaya masyarakat berlainan di masing-masing wilayah.
B. Materi dan Sanksi Pidana Sudah Diatur dalam UU yang Telah Berlaku
Selanjutnya, jika melihat ketentuan pidana yang diatur dalam UU ini, maka UU ini pada dasarnya mengatur masalah publikasi materi pornografi dan pornografi melibatkan anak-anak.

Tabel Sanksi Pidana dalam RUU Pornografi
No. 1
Pasal: Pasal 30
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).
No. 2
Pasal: Pasal 31
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).
No. 3
Pasal: Pasal 32
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang melibatkan anak
Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
No. 4
Pasal: Pasal 33
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi
Pidana: Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000. 000,00 (dua miliar rupiah).
No. 5
Pasal: Pasal 34
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
Pidana: Pidana paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah)
No. 6
Pasal: Pasal 35
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000. 000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000. 000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
No. 7
Pasal: Pasal 36
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).
No. 8
Pasal: Pasal 37
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000. 000,00 (enam miliar rupiah).
No. 9
Pasal: Pasal 38
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya
Pidana: Dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000. 000,00 (lima miliar rupiah).
No. 10
Pasal: Pasal 39
Unsur Tindak Pidana: Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
Pidana: Pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000. 000,00 (tiga miliar rupiah).
No. 11
Pasal: Pasal 40
Unsur Tindak Pidana: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38 melibatkan anak dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37, dan Pasal 38
Pidana: Ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Sumber: Diolah dari RUU Pornografi.

Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku. Berikut ini contoh-contoh materi muatan dalam RUU Pornografi yang pada prinsipnya sudah diatur dalam undang-undang yang lain.
Muatan RUU Pornografi telah diatur dalam UU Perlindungan Anak
Khusus untuk pengaturan pornografi anak dalam RUU Pornografi, materi yang diatur, pada dasarnya telah dimuat dalam UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan pidana dalam UU Perlindungan Anak secara luas telah mengatur sanksi pidana terhadap kejahatan terhadap anak, termasuk diskriminasi, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan ancaman kekerasan, penganiayaan, pemaksaan persetubuhan, perbuatan cabul, memperdagangkan, menjual atau menculik anak, serta mengeksploitasi seksual anak dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Sebagai tambahan materi tersebut juga telah dimuat dalam the Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children Prostitution and Child Pornography, dimana Indonesia pada 24 September 2001 tercatat sebagai Negara Pihak yang menandatangani Protokol Opsional ini.

Muatan RUU Pornografi Sudah Dimuat dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Berkaitan dengan penyebaran informasi dan dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan juga sudah diatur dalam UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam UU tersebut, setiap orang yang memenuhi unsur tindak pidana, dipidana paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

C. Penyempurnaan KUHP
Sejumlah muatan dalam RUU Pornografi pada dasarnya sudah dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, antara lain: pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan cabul. Pasal 289 KUHP menyatakan: "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Jika terdapat tindak pidana berkaitan dengan kehormatan kesusilaan yang masih perlu diatur, tentu lebih tepat dimuat dalam KUHP. Secara umum, definisi yang dapat digunakan berkaitan dengan unsur-unsurnya, yakni: (1) merendahkan martabat manusia; (2) eksploitasi; (3) pemaksaan, dan (4) kekerasan.

D. Kesimpulan
Proses pembahasan RUU Pornografi sebaiknya disingkronkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, terutama berkaitan dengan definisi. Lebih pas materi undang-undang ini, terutama berkaitan dengan perbuatan pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Jakarta, September 2008
Agustinus Edy Kristianto
Director of Publication and Civic Education
Board of Directors Indonesian Legal Aid Foundation/Foundation Indonesienne d'aide Juridique
Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta 10320
INDONESIA
Visit our website: http://www.ylbhi.or.id/